5 Desember 2010

KARENA ITU AKU CINTA

       Menjelang hari H, Widia masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau pacaran dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis shalehah itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang;Ayah dan Ibu,kakak-kakak,tetangga,dan teman-teman Widia.Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa?
Tanya mereka di hari Widia mengantarkan surat undangan.
Saat itu temen-teman baik Widia sedang duduk di kantin sambil menikmati gorengan ditambah teh botol yang dingin.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Widia bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Widia terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah manis itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia pacaran dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di sekolah adalah kali kedua        Widia yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Widia menyampaikan keinginan Barry untuk mengungkapkannya.

”Kamu pasti bercanda”!
Widia kaget melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Ayah dan Ibu membuat Widia menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Widia bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Widia yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Widia!
Widia serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Barry memang mencintainya.
Tidak ada yang lucu, suara Ayah tegas, Ayah hanya tidak mengira Barry berani mengungkapkan perasaannya pada anak ayah yang paling cantik!
Widia tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Ayah barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Widia tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Widia tidak serius dengan Barry, kan? Ibu mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Ibu siapa saja boleh datang berteman siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Widia terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis ayah yang paling shalihah.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba pidato. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Widia sayang, kamu bisa dapat teman yang banyak
Widia memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Ayah, kakak-kakak, dan terakhir Ibu Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Widia lontarkan.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Barry. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Barry cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Widia mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Widia!
Cukup!
Widia menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Waktu terus berjalan, segala rintangan dilalui oleh Widia namun ia tetap memutuskan untuk memilih Barry sebagai pacarnya,
Mereka akhirnya pacaran.
Setahun pacaran.
Teman-temannya masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Widia, apa sebenarnya yang dia lihat dari Barry. Jeleknya, Widia masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Barry agar tampak di mata mereka.
Widia hanya merasakan cinta begitu besar dari Barry, begitu besar hingga Widia bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Widia. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Barry pada Widia.
Nada suara Widia tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Widia hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Wid, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar dan shalehah! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Widia merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Barry.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Barry juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Barry juga pintar!
Tidak sepintarmu, Widia.
Barry juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Widia. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Barry. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Widia. Lalu lihat Barry! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Widia mengatakan itu semua.
Menginjak tahun kedua mereka pacaran, posisi Widia di Kampus semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Widia besar, anak-anak didiknya pintar dan lucu, dan Widia memiliki pacar terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Widia dan Barry melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Widia, bisik Ayah dan Ibu.
Sungguh beruntung Pacarnya.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Widia belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Pada akhirnya bisik-bisikan dari orang-orang disekelilingnya membuat ia lebih frustasi sehingga mengakibatkan stres ! dan pada akhirnya ia harus di bawa ke Rumah Sakit.
Barry tidak beranjak dari sisi tempat tidur Widia di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Widia belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Widia tak menunjukkan tanda-tanda sembuh. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Widia per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.Barry terus tidak berhenti memandangi Widia yang sedang koma. Tigapuluh jam berlalu.
Barry tercengang. Cemas. Melihat Widia terus dalam keadaan tidak berdaya berbaring diatas tempat tidurnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Barry termangu. Iba hatinya melihat pacarnya berbaring di atas tempat tidur tersebut.
Dokter?
Dalam kecemasannya Barrymemutuskan agar Widia di lakukan Operasi.
Bagaimana jika terlambat?
Widia berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Barry tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Widia digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Widia merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Barry bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Barry dan keluarga Widia mendekat.
Pendarahan hebat!
Barry membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.
Ada virus di ginjalnya yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Pada akhirnya dilakukan pencangkokan, tapi Widia dalam kondisi kritis.
Ibu Widia yang baru tiba, menangis. Ayah termangu lama sekali. Saudara-saudara Widia menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat.. Begitulah cinta. Aku harap dengan pernikahan ini kalian menjadi saling cinta dan mencintai lebih dari aku mencintai sahabatku ini. Untukmu yang telah menjadi seorang suami……dan untukmu yang telah menjadi seorang istri. Percayalah….bahwa Cinta itu akan menutupi segalanya
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar